Arsip Blog

Selasa, 16 Februari 2016

Penyebab Masalah Tak Kunjung Selesai

Manusia pada dasarnya ingin jalan hidupnya mulus-mulus saja tanpa ada hambatan. Tetapi terkadang kenyataan tidak sama dengan apa yang diinginkan dan yang diharapkan. Maka, muncul lah sebuah kata yang namanya🏻"masalah".



Masalah inilah biasanya menjadi kerikil-kerikil di perjalanan kehidupan. Mungkin kalo sesekali ada kerikil itu masih wajar. Tetapi kalo kerikil itu ada terus-terusan dan menjadi jalan makodam (jalan yang rusak) itu sudah tidak wajar. Dan perlu intropeksi diri. Ada beberapa faktor penyebab mempengaruhi masalah datang terus menerus.

Selasa, 09 Februari 2016

Pejabat Moderat



Kisah ini ditulis oleh Ustadz Hepi Andi Bastoni, dan dimuat di Majalah Sabiliku Bangkit, edisi perdana (Juni 2014). Kisah tentang bagaimana selayaknya pemimpin meletakkan gemerlap dunia di tangannya.

Abu Ubaidah bin al-Jarrah sedang berada di sebuah wilayah daerah Antokia bersama pasukan perangnya. Sahabat kepercayaan Rasulullah saw ini bersyukur karena tempat itu begitu nyaman dan menyenangkan bagi pasukannya untuk beristirahat. Selain udaranya yang sejuk, tempat itu pun ditumbuhi pepohonan rindang.

Suasana itu membuat pasukannya betah berlama-lama beristirahat di tempat tersebut. Sebagian mereka merebahkan tubuhnya, menikmati semilir angin yang berhembus.

Melihat kondisi itu, Abu Ubaidah bin al-Jarrah tiba-tiba merasa gelisah. Sesuai rencana ia memang ditempatkan di daerah subur itu oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Di satu sisi ia bersyukur dengan kondisi alamnya yang demikian nyaman. Namun di sisi lain, ia tak mau terlena. Ia takut tergelincir dalam kemewahan hidup dan melalaikannya dari perjuangan. Abu Ubaidah bermaksud menebangi pohon-pohon di daerah itu. Sepucuk surat ia layangkan ke Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah.

Surat itu pun segera dibalas oleh Umar seraya berkata, “Allah tidak mengharamkan semua yang baik bagi orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebajikan. Bacalah surah al-Mukminun ayat 51 yang berbunyi, “Hai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Umar lalu melanjutkan nasihatnya, “Seharusnya Anda memberikan kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat di daerah yang sejuk serta memberi makan yang cukup agar mereka terbebas dari kecapekan karena memerangi kaum kafir.”

Kisah yang disajikan ulang oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dalam Abqariyatu Umar-nya ini menampakkan sisi lain dari kezuhudan Umar bin Khaththab. Kalau dalam banyak riwayat kita menjumpai anjuran Umar agar kaum Muslimin hidup sederhana dan “menghindari” kehidupan mewah, maka pada kisah ini kita menemukan sisi berbeda. Umar memerintahkan agar Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan pasukannya menikmati keindahan alam Antokia yang begitu menyenangkan.

Ini tentu saja bukan sikap tidak konsisten Umar. Pada kisah ini, Umar tidak berbuat untuk dirinya tapi buat orang lain. Lagi pula, apa yang dianjurkan Umar merupakan hal yang amat wajar dan dibenarkan syariat.

Adapun terhadap hal yang menyimpang, Umar sangat tegas.
Pada kesempatan lain, sebagian kaum Muslimin banyak yang melaksanakan shalat di bawah Pohon Ridhwan. Yaitu, tempat dimana Rasulullah saw dan para sahabatnya melaksanakan Baitur Ridhwan. Melihat hal itu, Umar segera memerintahkan untuk menebang pohon tersebut meski sebagian sahabat Nabi saw lainnya tidak setuju. Umar sangat khawatir, kalau hal itu dibiarkan bisa membawa perilaku syirik.

Ini fragmen kisah yang berbeda. Umar benar-benar mengetahui perbedaan keduanya dan bagaimana mengatasinya. Sikap ini penting diteladani khususnya oleh para pejabat. Mereka harus bisa membedakan, mana yang halal dan haram. Mana zuhud dan mana miskin.

Umar amat membenci kemiskinan tapi pada saat yang sama dia begitu zuhud. Pada saat bersamaan, ia juga mempersilakan orang lain untuk menikmati kesenangan sewajarnya.

Terdapat perbedaan yang jauh antara sikap hidup zuhud dengan miskin. Allah dan Rasul-Nya amat membenci hidup miskin, tapi menganjurkan hidup zuhud. Orang-orang yang hidup zuhud adalah mereka yang secara wajar mampu menikmati kemewahan, tapi ia menghindar. Ia tidak mau mengambil kenikmatan itu dan hanya menikmati yang sedikit saja. Sekadarnya. Tidak berlebihan.

Sedangkan miskin adalah orang yang hidup susah dan tidak punya apa-apa. Umar bin Khaththab dan para sahabat Rasulullah saw adalah mereka yang hidup zuhud, bukan miskin. Sebab, kalau mereka mau, istana Persia sudah berada dalam genggaman. Kekuasaan Islam saat itu sudah melebarkan sayapnya ke segenap penjuru dengan segala kemewahannya.

Itu juga yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz. Khalifah Bani Umayyah ini hidup zuhud dan bukan miskin. Kalau mau, Umar bin Abdul Aziz bisa mendapatkan segala kemewahan yang ia inginkan. Saat itu, ia menjabat khalifah.

Para pejabat dituntut supaya bisa membedakan mana haknya dan mana hak rakyat. Hudzaifah Ibnul Yaman pernah “menggerutu” karena Umar hanya menyajikan makanan berupa roti kering dan minyak. Padahal saat itu di dapur umum sedang dimasak makan enak. Umar menjawab, “Engkau kupanggil untuk menikmati makananku. Sedangkan yang ada di dapur umum itu bukan milikku, tapi kepunyaan kaum Muslimin.”

Bagi Umar, pejabat negara sama saja dengan rakyat jelata. Mereka harus menjadi teladan bagi rakyatnya, hidup sederhana dan wajar sebagaimana masyarakat kebanyakan. Umat tidak ingin melihat para pejabat negara, baik yang berada di pusat maupun daerah, hidup berfoya-foya sedangkan rakyatnya menderita.

Namun Umar juga tidak menyukai para pejabatnya hidup terlalu sederhana sehingga muncul kesan tidak wajar. Umar pernah menegur salah seorang pejabatnya di Yaman karena mengenakan pakaian mewah dan wewangian berlebihan. Setahun kemudian Gubernur Yaman itu datang dengan pakaian compang-camping.

Umar langsung menegurnya, “Aku tidak mengharapmu seperti ini. Demikian juga sebaliknya, aku tidak menyukaimu hidup berlebihan. Aku mengharapkan gubernurku, hidup secara wajar, tidak hidup penuh kenistaan tapi tidak juga bermegah-megahan. Kalian boleh makan, minum, dan mengenakan mewangian. Dalam tugas kalian nanti, kalian akan mengetahui apa yang aku benci.”

Umar memberikan keteladanan luar biasa kepada para pejabat bagaimana menghadapi kemewahan dunia. Para pejabat harus mampu hidup moderat, pertengahan. Ia hidup tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan.

Sikap hidup seperti ini perlu dilakukan karena pejabat adalah cermin bagi rakyatnya. Diinginkan atau tidak, ia akan menjadi sorotan pubik. Kalau kehidupan para pejabatnya foya-foya, akan muncul dua kemungkinan: ia akan dibenci rakyatnya atau rakyat akan mengikuti sikap hidupnya.

Keduanya sama-sama tidak baik.
Sebaliknya, jika para pejabat hidup ternista, akan muncul juga dua kemungkinan: rakyat akan menghinakannya atau mengikutinya hidup ternista. Keduanya tidak ada yang baik. Maka, sikap hidup moderat dan sewajarnya adalah pilhan tepat.

Pada haji terakhir yang dia laksanakan sebelum wafat, Umar mengajarkan kita sebuah doa: Allahumma laa tuktsir lii minad dunya fa athgha, wa laa tuqlil lii minha fa ansaa (Ya Allah, janganlah engkau perbanyak bagiku duniaku sehingga membuatku melampaui batas. Tapi jangan juga Engkau persedikit duniaku sehingga membuatku lupa).

Sumber : http://sabiliku.com/pejabat-moderat/

(Tulisan ini dimuat di Majalah Sabiliku Bangkit Edisi Perdana/TH 01/Sya’ban 1435 H/Juni 2014 M )

Pembelajaran Hidup Dari Mendaki Gunung

Mendaki Gunung adalah kegiatan yang digandrungi anak muda di Indonesia saat ini. Apalagi di dukung oleh acara-acara advanture di televisi. Membuat hasrat untuk mendaki semakin tinggi.

Banyak teman-teman saya yang sudah duluan mencoba untuk mendaki. Mereka sudah mendaki di beberapa gunung yang ada di Pulau Jawa. Seperti Gunung Welirang, Gunung Arjuna, Gunung Kelud, Gunung Welirang hingga Gunung Semeru atau Mahameru. Kalau saya sih belum, mungkin lain kali saya mencoba untuk mendaki Gunung.

Kata mereka, apabila mendaki gunung, kita akan tahu sifat asli dari seseorang tersebut. Sifat manja, sifat emosian, sifat egois, sifat saling tolong menolong dll akan keluar dan tidak akan bisa ditutup-tutupi.



Mendaki Gunung pun mengajarkan tentang kehidupan bagi kita. Mungkin ini sudah bukan rahasia umum lagi. Tapi disini saya akan merangkum dari cerita teman-teman saya yang pernah mendaki dan diambil hikmanya untuk di aplikasikan di kehidupan.

Dan berbagi kepada teman-teman yang belum tahu. Dan mengingatkan kembali bagi teman- teman yang sudah tahu. Supaya nantinya bersemangat untuk mengarungi hidup. Oke, tanpa basa-basi lagi saya akan membahasnya.

1.  Ada Target Yang Dicapai

Sebelum mendaki Gunung, seseorang maupun kelompok pendaki selalu membahas target yang nantinya akan dicapai. Target yang ditentukan pun berbeda-beda. Tergantung dari individu maupun kelompok masing-masing.

Ada yang menargetkan bisa melihat Sunset, ada yang menargetkan bisa melihat Sunrise, ada yang menargetkan satu perjalanan mendaki dua puncak Gunung dan lain sebagainya.

Sama seperti kehidupan, seseorang harus mempunyai target yang akan dicapai. Supaya hidup ini nantinya akan bermakna dan tidak datar-datar saja.

Dan apabila hidup tidak ada targetnya, mungkin akan mengalami kebosanan. Menjalani rutinitas yang sama. Tidak ada greget dan tidak ada tantangannya. Selalu berada di zona nyaman.

2. Perencanaan Yang Matang

Setelah target ditentukan, baru membuat rencana. Rencana berangkat ke tempat lokasi tersebut jam berapa. Sampai di gerbang pendakian jam berapa.

Start perjalanan ke pendakian jam berapa. Sampai ke pos-pos di pendakian jam berapa. Berhenti untuk ngecamp jam berapa. Mulai naik ke puncak jam berapa. Turun dari puncak jam berapa.

Semua di list secara jelas. Supaya tahu perkiraannya lama perjalanan dan sampai puncaknya. Peta serta medan perjalanannya harus tahu juga supaya tidak tersesat dan tidak masuk jurang.

Di dalam kehidupan, manusia harus membuat perencanaan yang matang setelah membuat targetan. Supaya targetannya bisa tercapai.

Membuat strategi-strategi dan membuat perencanaan manajemen waktu. Serta memetakan kemungkinan yang terjadi supaya tidak kaget menghadapinya.

Dan juga membuat rencana cadangan apabila rencana yang pertama gagal. Jangan membuat rencana cadangan hanya satu opsi saja, tapi buatlah dua, tiga bahkan sepuluh opsi kalau memang bisa. Supaya target bisa tercapai dan tidak berhenti ditengah jalan.

Kebanyakan dari kita sudah membuat rencana utama tetapi tidak membuat rencana cadangan. Sehingga ditengah jalan akan menyerah dan berhenti karena tidak sesuai rencana utama.

3. Persiapan Yang Harus Disiapkan

Setelah membuat rencana, para pendaki harus tahu apa yang dipersiapkan. Seperti membawa tenda, obat-obatan, makanan, pakaian ganti, senter dsb.

Para pendaki juga mempersiapkan fisik, mental dsb. Agar pendaki siap dan mampu bertahan dalam menjalani perjalanan pendakian.

Begitu juga kehidupan, manusia harus mempersiapkan mengumpulkan mental, tekad, semangat dan rasa optimisme yang kuat. Karena menjalani kehidupan yang mempunyai target itu tidaklah mudah. Ada tantangan yang harus ditaklukan.

Dan ada tekananan yang begitu hebat dari kehidupan biasanya. Tekanan itu biasanya berasal dari orang yang tidak senang, orang yang meremehkan, orang yang sok dsb. Oleh karena itu persiapannya harus benar-benar dipersiapkan dengan matang.

Kalau tidak, kita akan mundur dan menyerah ditengah jalan. Kalau sudah menyerah, target yang ingin dicapai tak akan bisa tercapai dan hanya menjadi mimpi atau angan saja.

4. Saat Tiba Di Lokasi Pendakian

Di saat tiba lokasi pendakian, para pendaki melihat medan yang harus dilalui. Bukit-bukit yang terjal, jalan bebatuan, hutan-hutan dengan pohon yang menjulang tinggi, suara-suara khas di alam bebas dan angin dingin yang menusuk di sela-sela tulang.

Belum lagi kemungkinan ada binatang buas di dalam perjalanan nanti. Dan ketika para pendaki lain yang turun dengan wajah capek dan kelelahan. Disitulah para pendaki dihadapkan sebuah pilihan. Apakah masih melanjutkan mendaki atau kembali pulang ke rumah?.

Sama halnya dengan kehidupan, setelah menentukan target, membuat rencana dan mempersiapkan mental, fisik dsb. Mulai melakukan aksi dan melaksanakan rencana di kehidupan nyata. Disinilah awal-awal kebimbangan dan mulai banyak penawaran.

Dari teman-teman dan lingkungan kita biasanya ada mengajak bersantai-santai saja dan ada yang mengajak bersenang-senang saja. Padahal untuk mencapai target tidak bisa dilakukan dengan santai apalagi senang-senang. Dari situ muncul beberapa pertanyaan dalam diri.

Apakah saya bisa melaksanakan rencana yang sudah dibuat?. Apakah saya sanggup merasakan sakit dan tekanan yang akan dihadapinya?. Apakah saya santai-santai saja seperti kebanyakan orang?. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul nantinya.

Kenapa demikian?. Karena saat sudah membuat target dan rencana yang matang, nantinya pasti akan meninggalkan kenyamanan yang biasa dirasakan dan merasakan sakit atau pahitnya kehidupan.

5. Sebuah Perjalanan

Setelah pendaki memutuskan untuk melanjutkan mendaki, para pendaki melakukan sebuah perjalanan. Sambil membawa tas yang berisi logistik, para pendaki berjalan di jalan tanah kering berbatuan terkadang becek. Melewati hutan lebat dan semak-semak belukar. Menaiki bukit dan menuruni lembah.

Belum lagi cuaca yang tidak bisa ditebak. Terkadang panas, terkadang mendung dan dingin lalu turun hujan lebat. Sebuah perjuangan yang tidak mudah dilalui. Dan memang harus ada yang dikorbankan. Rasa capek, keringat yang bercucuran, terkena sinar matahari dan hawa dingin yang terasa khas dataran tinggi.

Sama seperti halnya kehidupan, dalam sebuah perjalanannya, tidak selalu berjalan mulus seperti yang diinginkan. Ada kerikil-kerikil kecil yang menghambat.

Kerikil itu bisa berasal dari diri sendiri seperti rasa malas, takut yang berlebihan, pesimis, dsb. Dan kerikil juga bisa berasal dari faktor luar seperti teman-teman kita, lingkungan kerja, lingkungan bermain, pacar, dsb. Inilah yang dinamakan proses dari perjalanan. Yang namanya proses pastilah tidak langsung dan instan.

Oleh karena itu kita harus mempunyai yang namanya fokus. Fokus pada targetan-targetan dan rencana awal yang sudah disusun. Apabila rencana awal tidak sesuai dengan kenyataan, kita sudah punya rencana cadangan yang dibuat sebelumnya. Jadi tidak ada alasan untuk tidak bisa mencapai target.

6. Beristirahat

Setelah tegang melaksanakan rencana dan melakukan perjalanan hidup yang memang tidak mudah dilalui. Tubuh ini juga perlu yang namanya istirahat.

Melemaskan otot-otot dan syaraf-syaraf yang sudah tegang. Serta merefreshkan otak yang terus berpikir keras pada pilihan-pilihan hidup. Sambil melakukan evaluasi diri dan mempersiapkan perjalanan hidup nanti.

Sama halnya dengan mendaki gunung. Setelah lama berjam-jam, berpuluh-puluh kilometer melakukan perjalanan. Pendaki merebahkan tubuhnya dan mengisi perut dengan makan. Sambil menikmati alam yang ada di sekitarnya. Supaya kuat untuk melanjutkan perjalanan mendakinya.

7. Mendaki Menuju Puncak Gunung

Dalam kehidupan, inilah adalah sebuah proses perjalanan menuju akhir. Kata akhir disini adalah semakin mendekati target. Target yang diimpi-impikan selama ini. Dan untuk mendekati target itulah tidak makin mudah.

Justru sebaliknya, semakin banyak cobaan yang harus dihadapi. Jalannya pun semakin terjal menanjak. Rintangan semakin besar dari yang biasanya. Harus bekerja keras lebih ekstra. Agar kuat dan sampai targetnya.

Sama halnya dengan mendaki, para pendaki biasanya meninggalkan logistik yang tidak perlu. Dan membawa logistik yang perlu dan dimasukkan kedalam tas kecil. Karena medannya yang begitu sulit dan terjal.

Semangatnya juga harus lebih besar dari yang biasanya. Dan disinilah moment dari para pendaki. Penentu untuk dikatakan sukses tidaknya para pendaki mencapai sebuah akhir yaitu puncak gunung.

8. Puncak Gunung

Inilah titik terakhir dari para pendaki. Titik yang diimpi-impikan para pendaki dari sebuah perjalanan yang begitu panjang. Berjam-jam dan berpuluh kilometer berjalan. Menghadapi medan jalan yang begitu sulit dan cuaca yang berubah-ubah.

Kaki yang mulai bergemetar dan nafas yang mulai terengah-engah. Semuanya akan terbayar dengan lukisan-lukisan dari Allah. Langit yang biru di selimuti kabut dingin. Belum lagi awan putih seperti kapas melayang. Seolah pemandangan yang sempurna. Rasa syukur akan terpanjatkan. Bisa melihat pemandangan yang seindah itu.

Begitu halnya dengan kehidupan, setelah melewati berbagai rintangan. Melewati banyaknya pilihan-pilihan kehidupan dan bisa keluar dari zona kenyamanan. Akhirnya kita bisa merasakan manisnya hidup. Tetapi tetap menghargai sebuah proses yang begitu panjang.

Selalu bersyukur, karena Allah memberikan kesempatan bernafas sehingga target yang diimpi-impikan telah menjadi nyata. Tetapi ingat ini adalah target bukanlah tujuan dari hidup. Jadi jangan pernah terlena dengan pencapaiannya. Karena tujuan terakhir adalah alam yang lain bukan yang sekarang.

Semoga bermanfaat









Selasa, 02 Februari 2016

Pelajaran Dari Sebuah Jam Dinding




Detaknya selalu berbunyi keras. Dia tidak pernah mengelu untuk berputar walaupun puluhan juta dalam setahun atau jutaan dalam sebulan atau 3.600 dalam sehari. Dia selalu terpampang di dalam ruangan. Dia adalah jam dinding. Jam dinding sudah menjadi sahabat bagi manusia. Oleh karena itu jam dinding  ada dalam menghiasi ruangan. Jam dinding selalu ada baik di Rumah, Sekolahan, Kantor dan ruangan-ruangan lainnya. Jam dinding selalu di lihat di segala aktivitas manusia. Saat mau berangkat sekolah, saat bekerja, saat mau melakukan ibadah, saat mau tidur dan banyak aktivitas lainnya.